Sejak
Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul dan ditugaskan untuk menyampaikan
kebenaran agama Islam, kebanyakan penduduk Mekah tidak suka dan benci dengan
beliau. Mereka benci bukan karena perilaku Nabi SAW, tetapi tidak suka dengan
ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.
Setelah
penghinaan terhadap Rasulullah Saw. yang dilakukan oleh Bani Quraisy,
Rasulullah Saw. melakukan hijrah ke Thaif. Thaif merupakan sebuah kota di
Provinsi Mekkah, Arab Saudi pada ketinggian 1.700 m di lereng Pegunungan
Sarawat.
Rasulullah
Saw. hijrah ditemani oleh mantan budak beliau yaitu Zaid bin Haritsah. Di sana
beliau menemui para pemuka Bani Tsaqif yaitu Abd Yalil, Mas’ud dan Hubaib,
mereka adalah anak-anak ‘Amr bin Umair Ats-Tsaqafy. Nabi meminta pertolongan
kepada mereka, tetapi mereka menjawab dengan jawaban kasar.
Setelah permintaan Rasulullah terhadap ketiga pemuka Bani Tsaqif tidak dikabulkan, Rasulullah Saw meminta agar tidak menyiarkan berita kedatangan Nabi ke Thaif kepada orang-orang Makkah. Tetapi permintaan tersebut pun tidak mereka kabulkan, melainkan mereka menyiarkan berita kedatangan Nabi kepada kaum kafir Quraisy di Makkah.Selain itu, mereka juga menghasut anak-anak kecil untuk melempari Nabi dengan batu hingga mata kaki Nabi berdarah. Zaid bin Haritsah menjadi benteng Nabi ketika beliau dilempari batu oleh anak-anak kecil.
Setelah permintaan Rasulullah terhadap ketiga pemuka Bani Tsaqif tidak dikabulkan, Rasulullah Saw meminta agar tidak menyiarkan berita kedatangan Nabi ke Thaif kepada orang-orang Makkah. Tetapi permintaan tersebut pun tidak mereka kabulkan, melainkan mereka menyiarkan berita kedatangan Nabi kepada kaum kafir Quraisy di Makkah.Selain itu, mereka juga menghasut anak-anak kecil untuk melempari Nabi dengan batu hingga mata kaki Nabi berdarah. Zaid bin Haritsah menjadi benteng Nabi ketika beliau dilempari batu oleh anak-anak kecil.
Al-’ Udwâni,
seorang periwayat yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw,
menuturkan, “Aku melihat Rasulullah di Pasar ‘Ukâzh. Beliau menancapkan
tongkatnya seperti ini dan menyandarkan tubuhnya pada tongkat itu. Beliau
menyeru orang-orang pada kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.”
Lalu, lanjut ‘Udwâni, Nabi saw membaca firman Allah swt
berikut.
Demi langit dan yang datang pada malam hari. (QS. ath-Thariq
[86]: 1).
“Ketika berbicara, suara beliau memancarkan keagungan, pandangan
matanya tajam, pidatonya berwibawa, dan nasihatnya menyentuh kalbu,” kata
‘Udwâni.
Rasulullah saw berada di Thâ’if selama 15 malam. Selama itu,
Nabi saw mengunjungi sejumlah pasar dan tempat pertemuan. Setiap kali berjumpa
dengan orang, beliau mengucap salam dan menyeru untuk mengikrarkan
kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.
Jika bertemu orang-orang Yahudi, nabi Muhammad saw langsung
mengenalkan ajaran yang dibawanya. Saat bertemu orang-orang Nasrani, Nabi saw
melakukan hal yang sama. Begitu pula saat bertemu orang-orang musyrik.
Rasulullah saw dihujani Batu
Suatu saat, Rasulullah saw bertemu dengan penduduk Thâ’if. Beliau
langsung menawarkan agama Islam kepada mereka, tapi ajakan tulus itu ditolak
mentah-mentah.
“Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” kata
salah satu di antara mereka.
Rasulullah saw tak memaksa mereka.
“Jika kalian menolak memberikan perlindungan dan masuk Islam,
janganlah kalian mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk minta
pertolongan.”
Di luar dugaan, permintaan itu juga ditolak penduduk Thâ’if.
Akhirnya, Nabi saw mengajukan permohonan terakhir.
“Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” ujar Nabi saw dengan
lembut.
“Demi Allah, engkau tidak akan bisa keluar sampai engkau dilempari
dengan batu. Agar engkau tidak akan pernah kembali lagi ke sini, selamanya,”
teriak mereka.
Dengan cepat, penduduk Thâ’if membentuk dua barisan. Sejurus kemudian, mereka
membungkukkan badan untuk mengambil batu. Tangan mereka kini telah penuh dengan
batu keras. Jumlahnya banyak. Setiap orang telah siap melempari Rasulullah saw
dengan batu yang tergenggam di tangan.
Untuk beberapa saat, Nabi saw dan Zaid bin Hâritsah tak bergerak.
Mereka tak menduga dengan situasi yang berubah cepat. Batu-batu mulai
dilontarkan. Nabi saw dan Zaid berusaha lari.
Batu-batu itu beterbangan menuju tubuh Nabi saw dan Zaid. Keduanya terus
berusaha menyelamatkan diri mencari tempat persembunyian, tetapi mereka kalah
cepat. Batu-batu itu silih berganti mendarat di kepala dan sekujur tubuh
mereka. Nabi saw tak dapat lagi mengelak. Zaid berusaha menggunakan tubuhnya
untuk melindungi Rasulullah saw, tetapi sia-sia saja. Batu itu datang bak hujan
deras yang turun dan langit, menghujam tubuh beliau tak kenal henti.
Mereka melempar batu yang diarahkan ke pembuluh darah di atas
tumit Nabi saw sehingga kedua sandal beliau saw basah bersimbah darah. Darah
segar mulai mengucur dari tubuh Rasulullah saw.
Manusia mulia itu terus berlari menghindani amukan penduduk
Thâ’if, hingga Rasulullah saw berlindung di balik tembok milik ‘Utbah dan
Syaibah, dua orang putra Rabi’ah, yang terletak tiga mil dari kota
Thâ’if.
Bertemu Budak Nasrani
Setelah merasa aman, Nabi saw menghampiri sebuah pohon anggur lalu
duduk di sana. Di tempat itu, Rasulullah saw berdoa sambil menahan sakit yang
mulai menjalar tubuhnya.
“Ya Allah, aku mengadu
kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku
di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang
lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku.
Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang
mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku
berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya
membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan
Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu.
Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.”
Nabi saw tidak menyadari bahwa
gerak-geriknya diperhatikan dua putra Rabi’ah. Keduanya tak tega melihat pender
itaan yang dialami Rasulullah saw.
Lalu mereka (Utbah dan Syaibah ) memanggil ‘Addâs, seorang hamba
beragama Nasrani yang mengabdi pada mereka.
“Ambillah setandan anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut!”
kata keduanya.
Anggur itu diberikan kepada Rasulullah saw yang kemudian mengulurkan
tangannya untuk menerima pemberian tersebut.
“Bismillah,” ucap Muhammad saw sesaat seusai menerima
anggur itu dan lalu memakannya.
‘Addas terperanjat. Ia tidak pernah mendengar perkataan itu
sebumnya.
“Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk
negeri ini.”
“Kamu berasal dan negeri mana? Dan apa agamamu?” tanya Nabi
saw.
“Aku seorang Nasrani dan penduduk Nina-wy (Nineveh/Persia),” jawab
‘Addâs.
“Itu negeri seorang saleh bernama Yunus bin Matta,” kata
Rasulullah saw.
‘Addâs semakin penasaran.
“Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”
“Dia adalah saudaraku, seorang nabi, demikian pula dengan
diriku.”
‘Addâs tertegun. Ia terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa pikir
panjang, ia langsung merengkuh kepala Rasulullah saw. Ia juga mencium kedua
tangan dan kedua kaki Nabi saw. Sementara, kedua putra Rabi’ah menyaksikan
adegan itu dengan penuh keheranan. Ketika ‘Addâs datang, keduanya
berujar,
“Celakalah dirimu! Apa yang terjadi denganmu?”
“Wahai tuanku! Tiada sesuatu pun di bumi ini yang lebih baik
daripada orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku hal yang hanya diketahui
oleh seorang nabi,” jawab ‘Addâs.
“Celakalah dirimu, wahai ‘Addâs! Jangan biarkan dia memalingkanmu
dari agamamu! Sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua.
(Ibnu Hisyâm).
Doa untuk Penduduk Thâ’if
Hari mulai gelap, malam menghamparkan tabirnya. Rasulullah saw dan
Zaid keluar dari persembunyian, menahan lapar dan dahaga, merasakan kepedihan,
kepenatan, dan duka lara.
Keduanya memutuskan untuk kembali ke Makkah. Rasa getir dan sedih
mengiringi keduanya. Disiksa di Makkah, diusir dari Thâ’if, dan kini harus
kembali ke Makkah. Namun, masuk Islamnya ‘Addâs, seorang budak Nasrani, membuat
semangat keduanya kembali berkobar.
Keduanya tiba di Qarnul Manâzil saat derita dan nestapa mencapai
puncaknya. Rasulullah saw menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya awan
berarak, dan tiba-tiba Jibril menampakkan diri seraya menyampaikan salam.
Kemudian Allah SWT mengutus Jibril untuk
menghampiri beliau.
Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang telah
terjadi di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan
malaikat di gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika
engkau mau, maka malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung
itu hingga penduduk kota itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja
suatu hukuman bagi penduduk kota itu.”
Setelah mendapatkan hinaan dan lemparan
batu yang demikian menyakitkan, kemudian mendapat tawaran luar biasa
dari Jibril, apa jawaban Rasulullah SAW? ia lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang
ini tidak menerima ajaran Islam, tidak mengapa. Aku berharap dengan
kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah
Allah dan berbakti kepada-Nya.”
Hingga akhirnya Islam berjaya dan seperti yang kita tahu dari kota
itu muncullah periwayat Hadist terkenal yang bernama Abdurrahman atau yang kita
kenal dengan Abu Hurairah r.a .
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah SAW. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulianya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah SAW. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulianya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Ref : sirahnabawiyah blog,alkisah web, Nelly ayu, Hengky Ferdiansyah Lc. Ma, ocihaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar