Jumat, 06 Desember 2019

Kisah Sedih Rasulullah dilempari batu di Thaif

Sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul dan ditugaskan untuk menyampaikan kebenaran agama Islam, kebanyakan penduduk Mekah tidak suka dan benci dengan beliau. Mereka benci bukan karena perilaku Nabi SAW, tetapi tidak suka dengan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Setelah penghinaan terhadap Rasulullah Saw. yang dilakukan oleh Bani Quraisy, Rasulullah Saw. melakukan hijrah ke Thaif. Thaif merupakan sebuah kota di Provinsi Mekkah, Arab Saudi pada ketinggian 1.700 m di lereng Pegunungan Sarawat.

Rasulullah Saw. hijrah ditemani oleh mantan budak beliau yaitu Zaid bin Haritsah. Di sana beliau menemui para pemuka Bani Tsaqif yaitu Abd Yalil, Mas’ud dan Hubaib, mereka adalah anak-anak ‘Amr bin Umair Ats-Tsaqafy. Nabi meminta pertolongan kepada mereka, tetapi mereka menjawab dengan jawaban kasar.
Setelah permintaan Rasulullah terhadap ketiga pemuka Bani Tsaqif tidak dikabulkan, Rasulullah Saw meminta agar tidak menyiarkan berita kedatangan Nabi ke Thaif kepada orang-orang Makkah. Tetapi permintaan tersebut pun tidak mereka kabulkan, melainkan mereka menyiarkan berita kedatangan Nabi kepada kaum kafir Quraisy di Makkah.Selain itu, mereka juga menghasut anak-anak kecil untuk melempari Nabi dengan batu hingga mata kaki Nabi berdarah. Zaid bin Haritsah menjadi benteng Nabi ketika beliau dilempari batu oleh anak-anak kecil.

Al-’ Udwâni, seorang periwayat yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw, menuturkan, “Aku melihat Rasulullah di Pasar ‘Ukâzh. Beliau menancapkan tongkatnya seperti ini dan menyandarkan tubuhnya pada tongkat itu. Beliau menyeru orang-orang pada kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.”

      Lalu, lanjut ‘Udwâni, Nabi saw membaca firman Allah swt berikut. 

     Demi langit dan yang datang pada malam hari. (QS. ath-Thariq [86]: 1). 

     “Ketika berbicara, suara beliau memancarkan keagungan, pandangan matanya tajam, pidatonya berwibawa, dan nasihatnya menyentuh kalbu,” kata ‘Udwâni. 

     Rasulullah saw berada di Thâ’if  selama 15 malam. Selama itu, Nabi saw mengunjungi sejumlah pasar dan tempat pertemuan. Setiap kali berjumpa dengan orang, beliau mengucap salam dan menyeru untuk mengikrarkan kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah

     Jika bertemu orang-orang Yahudi, nabi Muhammad saw langsung mengenalkan ajaran yang dibawanya. Saat bertemu orang-orang Nasrani, Nabi saw melakukan hal yang sama. Begitu pula saat bertemu orang-orang musyrik.

Rasulullah saw dihujani Batu 

     Suatu saat, Rasulullah saw bertemu dengan penduduk Thâ’if. Beliau langsung menawarkan agama Islam kepada mereka, tapi ajakan tulus itu ditolak mentah-mentah. 

     “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” kata salah satu di antara mereka. 

     Rasulullah saw tak memaksa mereka. 

     “Jika kalian menolak memberikan perlindungan dan masuk Islam, janganlah kalian mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk minta pertolongan.” 

     Di luar dugaan, permintaan itu juga ditolak penduduk Thâ’if. Akhirnya, Nabi saw mengajukan permohonan terakhir. 

     “Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” ujar Nabi saw dengan lembut. 

     “Demi Allah, engkau tidak akan bisa keluar sampai engkau dilempari dengan batu. Agar engkau tidak akan pernah kembali lagi ke sini, selamanya,” teriak mereka. 

  Dengan cepat, penduduk Thâ’if membentuk dua barisan. Sejurus kemudian, mereka membungkukkan badan untuk mengambil batu. Tangan mereka kini telah penuh dengan batu keras. Jumlahnya banyak. Setiap orang telah siap melempari Rasulullah saw dengan batu yang tergenggam di tangan.

      Untuk beberapa saat, Nabi saw dan Zaid bin Hâritsah tak bergerak. Mereka tak menduga dengan situasi yang berubah cepat. Batu-batu mulai dilontarkan. Nabi saw dan Zaid berusaha lari. 

    Batu-batu itu beterbangan menuju tubuh Nabi saw dan Zaid. Keduanya terus berusaha menyelamatkan diri mencari tempat persembunyian, tetapi mereka kalah cepat. Batu-batu itu silih berganti mendarat di kepala dan sekujur tubuh mereka. Nabi saw tak dapat lagi mengelak. Zaid berusaha menggunakan tubuhnya untuk melindungi Rasulullah saw, tetapi sia-sia saja. Batu itu datang bak hujan deras yang turun dan langit, menghujam tubuh beliau tak kenal henti.

     Mereka melempar batu yang diarahkan ke pembuluh darah di atas tumit Nabi saw sehingga kedua sandal beliau saw basah bersimbah darah. Darah segar mulai mengucur dari tubuh Rasulullah saw. 

     Manusia mulia itu terus berlari menghindani amukan penduduk Thâ’if, hingga Rasulullah saw berlindung di balik tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putra Rabi’ah, yang terletak tiga mil dari kota Thâ’if. 


Bertemu Budak Nasrani

     Setelah merasa aman, Nabi saw menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk di sana. Di tempat itu, Rasulullah saw berdoa sambil menahan sakit yang mulai menjalar tubuhnya.


     “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku. Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.”

Nabi saw tidak menyadari bahwa gerak-geriknya diperhatikan dua putra Rabi’ah. Keduanya tak tega melihat pender itaan yang dialami Rasulullah saw. 

     Lalu mereka (Utbah dan Syaibah ) memanggil ‘Addâs, seorang hamba beragama Nasrani yang mengabdi pada mereka. 

     “Ambillah setandan anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut!” kata keduanya.

   Anggur itu diberikan kepada Rasulullah saw yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian tersebut.

     “Bismillah,” ucap Muhammad saw sesaat seusai menerima anggur itu dan lalu memakannya. 

     ‘Addas terperanjat. Ia tidak pernah mendengar perkataan itu sebumnya. 

     “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini.” 

     “Kamu berasal dan negeri mana? Dan apa agamamu?” tanya Nabi saw. 

     “Aku seorang Nasrani dan penduduk Nina-wy (Nineveh/Persia),” jawab ‘Addâs. 

     “Itu negeri seorang saleh bernama Yunus bin Matta,” kata Rasulullah saw. 

     ‘Addâs semakin penasaran. 

     “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?” 

     “Dia adalah saudaraku, seorang nabi, demikian pula dengan diriku.” 

     ‘Addâs tertegun. Ia terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung merengkuh kepala Rasulullah saw. Ia juga mencium kedua tangan dan kedua kaki Nabi saw. Sementara, kedua putra Rabi’ah menyaksikan adegan itu dengan penuh keheranan. Ketika ‘Addâs datang, keduanya berujar, 

     “Celakalah dirimu! Apa yang terjadi denganmu?” 

     “Wahai tuanku! Tiada sesuatu pun di bumi ini yang lebih baik daripada orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi,” jawab ‘Addâs. 

     “Celakalah dirimu, wahai ‘Addâs! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu! Sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua. (Ibnu Hisyâm). 

Doa untuk Penduduk Thâ’if 

     Hari mulai gelap, malam menghamparkan tabirnya. Rasulullah saw dan Zaid keluar dari persembunyian, menahan lapar dan dahaga, merasakan kepedihan, kepenatan, dan duka lara. 

     Keduanya memutuskan untuk kembali ke Makkah. Rasa getir dan sedih mengiringi keduanya. Disiksa di Makkah, diusir dari Thâ’if, dan kini harus kembali ke Makkah. Namun, masuk Islamnya ‘Addâs, seorang budak Nasrani, membuat semangat keduanya kembali berkobar. 

     Keduanya tiba di Qarnul Manâzil saat derita dan nestapa mencapai puncaknya. Rasulullah saw menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya awan berarak, dan tiba-tiba Jibril menampakkan diri seraya menyampaikan salam.

Kemudian Allah SWT mengutus Jibril untuk menghampiri beliau. 

Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota itu.”

Setelah mendapatkan hinaan dan lemparan batu yang demikian menyakitkan, kemudian mendapat tawaran luar biasa dari Jibril, apa jawaban Rasulullah SAW? ia lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang ini tidak menerima ajaran Islam, tidak mengapa. Aku berharap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.

     Hingga akhirnya Islam berjaya dan seperti yang kita tahu dari kota itu muncullah periwayat Hadist terkenal yang bernama Abdurrahman atau yang kita kenal dengan Abu Hurairah r.a .
Demikianlah kelembutan hati Rasulullah SAW. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulianya pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah, penuh kelembutan dan kasih sayang.


Ref : sirahnabawiyah blog,alkisah web, Nelly ayu, Hengky Ferdiansyah Lc. Ma, ocihaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUNCI HIDUP SENANG DAN TENANG

Pernahkah kita membaca berita bahwa artis artis di luar negeri seperti korea dan amerika melakukan bunuh diri? Mungkin karena depresi a...